Thursday, September 13, 2018

Semua berawal dari percaya nama besar Reliance Securities TBK..

Calon investor Indonesia jangan salah kaprah. 
Dana dipercayakan kepada sekuritas besar & go public belum tentu aman. 
Salah satu contoh yg membuat gempar dunia sekuritas nasional. 

Reliance Sekuritas TBK (RELI) terlibat kasus investasi ilegal.
Walau termasuk salah satu sekuritas beraset jumbo (hampir 1 Triliun).
Tak kurang dari ratusan miliar dana nasabah raib ditipu reliance, 
karena kasus obligasi fixed income bodong..

Dari kronologis kasus2 menyangkut Reliance, selayaknya ada hikmah yang bisa dipetik. Bahwa perusahaan beraset raksasa itu bak pedang bermata dua. 
Nasabah bisa celaka jika kekuatan, akses, dan pengalamannya dimanfaatkan semata2 untuk mengelabui nasabah..

Saat jatuh tempo, bukannya memetik hasil. 
Malah harus lapor ke OJK dan kepolisian, 
habis uang pula bayar pengacara,
untuk ke pengadilan melawan sekuritas durjana ini..

Berikut rangkaian kasus dirangkum dari Kontan dan berbagai sumber lainnya.

1. Reliance terseret kasus obligasi

JAKARTA. Nasib apes menimpa Alwi Susanto dan Sutanni. Kakak beradik ini terjebak tawaran investasi PT Reliance Securities Tbk.
Alwi berkisah, akhir tahun 2014 mendapat tawaran investasi surat utang negara, FR0035, oleh agen marketing Reliance. Dia lalu tertarik dan mengikat kesepakatan dengan Larasati, Head of Wealth Management Reliance Securities.
Produk yang ditawarkan berjangka waktu satu tahun. Nasabah akan mendapat imbal hasil 12%, yang langsung dibayar di awal, saat dana itu ditempatkan. Tanpa menaruh curiga, Alwi menempatkan dana Rp 2,2 miliar di awal Desember 2014. 
Demikian pula adiknya, menyepakati penempatan dana Rp 1 miliar pada Desember 2014 dan berlanjut Rp 750 juta di bulan Maret 2015.
Namun saat jatuh tempo, duit investasi pokok Alwi dan Sutanni tak kunjung cair. Belakangan Reliance Securities menyatakan Larasati tidak lagi bekerja di perusahaan itu sejak medio 2014. Reliance, menurut Alwi, tidak mau bertanggungjawab atas dana yang tersangkut itu.
Memang, ada sedikit keganjilan dalam investasi ini. Salah satunya, nasabah diminta mentransfer dana penempatan ke rekening PT Magnus Capital. Namun Alwi tak curiga, lantaran seluruh pembicaraan dan penandatanganan kerjasama di kantor Reliance. 
"Dari penjelasan Reliance, saya menduga ada kesengajaan dan pembiaran , lalu mengkambinghitamkan Larasati," tutur Alwi kepada KONTAN, Selasa (19/4).
Dia mempertanyakan kenapa Larasati dibiarkan menjual produk dan memakai ruang meeting kantor Reliance kalau  tidak lagi bekerja di sana. "Saya kok melihat ada gelagat konspirasi dalam kasus ini," tuding Alwi. 
Ia melaporkan kasus ini ke kepolisian. Polisi menyarankan Alwi meminta surat penegasan dari Reliance. bahwa perusahaan itu tidak bertanggungjawab atas kasus ini. 
"Saya sudah minta surat resmi dari mereka (Reliance), tapi sampai sekarang belum diberikan tanpa alasan  jelas," ujar Alwi.
Managing Director Reliance Securities Jurgan Usman menyatakan, Larasati pernah bekerja di perusahaan itu. Namun, ia berhenti bekerja sejak 1 April 2014. "Sementara transaksi itu per Desember 2014. Ini penipuan  yang mengatasnamakan Reliance," tutur dia. 
Jurgan menegaskan, Reliance tidak memiliki divisi wealth management. Dia menandaskan bahwa Reliance pernah memberi keterangan ke OJK beberapa waktu lalu terkait kasus itu.
Jejak Reliance dan Magnus di Skema Investasi Obligasi
Dalam salah satu dokumen yang diperoleh KONTAN, tertera penandatanganan kerjasama antara Reliance Securities dan Magnus Capital. 
Kesepakatan itu menyatakan posisi Magnus sebagai perusahaan penampung dana dari transaksi obligasi tim Wealth Management Reliance Securities.
Dana itu kemudian ditransfer kembali ke Reliance, setelah Magnus memotong 0,5% dari dana itu sebagai fee rekening penampung. Disebutkan Magnus tidak memiliki kewajiban apapun selain sebagai penerima dana dan mentransfernya kembali ke Reliance.
Agus Priyambodo, Associate Director Magnus Capital, kepada KONTAN mengaku tidak pernah meneken kerjasama apapun dengan Larasati. "Tidak dengan Larasati maupun dengan Reliance Securities," tutur Agus kepada KONTAN, Kamis (21/4).
Agus mengaku kenal Larasati sejak 2014, saat datang ke Magnus menawarkan kerjasama. Terkait kerjasama apa yang ditawarkan, Agus tak mau merinci. Agus bilang, kerjasama itu tidak pernah disepakati karena Larasati belum melengkapi syarat yang diajukan oleh Magnus.
"Sejak Maret lalu kami sudah melaporkan Larasati ke pihak kepolisian," imbuh Agus. Dia menyatakan sudah diperiksa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kasus tersebut.
Ketika dihubungi KONTAN, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengakui sudah menerima pengaduan. OJK sudah memanggil pihak-pihak terkait. 
"Sampai saat ini proses pengumpulan informasi dan pemanggilan pihak-pihak yang perlu dimintai keterangan masih berjalan," tulis Nurhaida, via pesan singkat kepada KONTAN, Kamis (21/4).



2. Petinggi BEI di pusaran kasus Reliance



PT Reliance Securities terseret kasus investasi surat utang negara. Bahkan, kasus ini menyeret nama petingginya, Nicky Hogan, yang kini menjadi direksi Bursa Efek Indonesia. Investor menunggu OJK menyelesaikan kasus ini.
JAKARTA. Nama Reliance Securities bergaung kencang di jagat pasar modal Indonesia usai dua nasabah mengaku terjebak dalam investasi surat utang negara.
Adalah Alwi Susanto dan Sutanni, yang merasa ditipu reliance hingga miliaran rupiah usai menempatkan dana mereka di surat utang negara, FR0035. Alwi dan Sutanni menempatkan dana melalui kesepakatan dengan seseorang yang mengaku agen marketing Reliance bernama Larasati.
Pada kesepakatan di awal Desember 2014 itu, Larasati mengaku sebagai Head of Wealth Management Reliance Securities. Namun, saat jatuh tempo, investasi pokok Alwi dan Sutanni tak kunjung cair.
Ternyata, Larasati sudah bukan menjadi staf Reliance sejak medio 2014. Anehnya, seluruh kesepakatan dengan nasabah itu terjadi di kantor Reliance.
Kasus ini juga melibatkan beberapa agen lepas (freelance) yang juga merekrut beberapa nasabah atas nama Reliance. Keganjilan lainnya, nasabah diminta mentransfer dana penempatan ke rekening PT Magnus Capital.
Salah seorang agen freelance yang dihubungi KONTAN memaparkan, jika berinvestasi Surat Utang Negara seri FR0035 minimal Rp 5 miliar, investor bakal memperoleh surat konfirmasi yang dilengkapi tanda tangan Nicky Hogan, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Reliance Securities melalui surat elektronik.
Saat ini, Nicky menjabat sebagai Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dalam bukti konfirmasi penjualan (trade confirmation) yang diperoleh KONTAN, tercantum tanda tangan Nicky Hogan sebagai Direktur Utama Reliance dan tanda tangan Larasati sebagai Head of Wealth Management Reliance.
Saat dikonfirmasi, Nicky mengakui saat kasus itu terjadi memang menjabat sebagai Direktur Utama Reliance. Namun, dia menampik tanda tangan yang ada di trade confirmation tersebut adalah tanda tangannya. 
"Coba cek dokumennya. Tanda tangan saya bukan seperti ini. Sekarang mudah memalsukan sesuatu seperti ini," ujar Nicky, saat KONTAN memperlihatkan bukti konfirmasi yang dimaksud, Jumat (22/4). Ia juga mengatakan, modus investasi ini bisa saja mengutip nama Reliance untuk penipuan.
"Dicek dulu dokumennya, apakah itu benar dari Reliance. Apakah memang itu investor atau nasabah Reliance dan transaksinya melalui Reliance? Saya memang dirutnya waktu itu. Tetapi saya tidak pernah tanda tangan apa-apa," tegas dia lagi.
Namun, Nicky belum menanggapi kala ditanya apakah ia akan menuntut balik jika memang benar tanda tangannya dipalsukan untuk maksud penipuan.
Lalu, siapakah Larasati sebenarnya? Dari informasi yang diperoleh KONTAN, Larasati kini memiliki perusahaan yang berkantor di Office 8 lantai 16, Jalan Senopati, Jakarta Selatan.
Namun, berdasarkan penelusuran KONTAN kemarin, ada delapan perusahaan yang terdapat di lantai 16 dan tidak ada satupun pegawai di sana yang mengenal Larasati. Suasana di lantai 16 juga terlihat sepi dan tak terlalu banyak aktivitas.
Dalam web resminya, Reliance mewanti-wanti para nasabahnya terkait modus penipuan ini. Menurut Reliance, akhir-akhir ini memang terdapat orang mengatasnamakan perwakilan Reliance yang menawarkan produk investasi atau pasar modal dengan memberikan penawaran imbal hasil tinggi dan penjelasan yang meyakinkan.
Manajemen Reliance Securities meminta masyarakat yang menerima penawaran semacam ini, mengklarifikasi langsung ke perseroan. Hingga saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menyelidiki kasus tersebut. 
Anton Budidjaja komisaris Reliance Sekuritas TBK (RELI)

3. Duit ratusan miliar milik investor raib


JAKARTA. Kasus penawaran investasi produk investasi beraset dasar surat utang FR0035 oleh PT Reliance Securities Tbk kian berselimut kabut. E.P. Larasati, Head of Wealth Management Reliance Securities yang disebut-sebut menjadi tokoh utama dalam kasus ini, kini bahkan tak diketahui rimbanya, berikut dana ratusan miliar milik para investor.
Saat ditemui KONTAN di Plaza Semanggi, Jakarta, Rabu (27/4), dua agen tim marketing produk Reliance yang tak mau disebut namanya mengaku bergabung sejak Oktober - November 2014.
"Kami bekerja di bawah koordinasi Larasati," tandas salah satu agen. Untuk memastikan Larasati benar karyawan Reliance, seorang di antara agen itu pernah menghubungi call center Reliance di gedung Batavia akhir tahun 2014.
"Dan dibenarkan, ada pegawai bernama Larasati dan menjabat sebagai Head of Wealth Management di kantor itu," ujar sang agen.
Dalam paparan kepada agen, Larasati disebut-sebut membidik dana kelolaan hingga Rp 200 miliar dari pemasaran produk itu di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Agen marketing mendapat komisi 1% dari dana investasi yang masuk.
Investasi tersebut menjanjikan imbal hasil antara 9% - 12% dengan jangka waktu antara 3, 6 dan 12 bulan. Minimal investasi sebesar Rp 250 juta. Sebagai pemanis, imbal hasil diserahkan di awal penempatan dana. Hanya saja, dana investasi investor tidak ditransfer ke rekening Reliance, melainkan ke rekening PT Magnus Capital.
"Larasati bilang, Magnus merupakan penampung dana. Sementara FR0035 sendiri ada di HSBC," imbuh agen. Kedua agen itu saja, mengaku bisa mengumpulkan total dana sekitar Rp 25 miliar - Rp 30 miliar.
"Yang masih tersangkut dan tidak bisa dikembalikan sekitar Rp 11 miliar - Rp 13 miliar," ujar sang agen.
Seperti ditulis KONTAN April lalu, investor bernama Alwi Susanto mengaku dana investasi miliknya bersama sang adik, Sutanni, senilai total Rp 3,95 miliar tidak bisa kembali sejak jatuh tempo Desember 2015.
Nama Nicky Hogan, Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Reliance Securities juga tercantum dalam satu dokumen investasi itu.
Kepada KONTAN, Nicky membantah terlibat dan menegaskan, tandatangan dalam dokumen yang diperlihatkan KONTAN adalah palsu.
Agus Priyambodo, Associate Director Magnus Capital menjelaskan, tak pernah menandatangani kerjasama, baik dengan Reliance atau Larasati.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku masih memeriksa kasus ini. "Pemeriksaan masih berlanjut, informasi belum bisa diungkapkan ke publik," terang Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK.




Anton Budidjaja lulusan California State University 1991


4. Bareskrim Polri telusuri tindak pidana pasar modal dalam kasus Reliance

Sumber Kontan : Bareskrim Polri dalami kasus Reliance TBK

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Ditipideksus) Bareskrim Polri Daniel Silitonga mengatakan laporan 13 nasabah PT Reliance Securities pembeli masih dalam proses penyidikan.
"Masih terus kita sidik, kita periksa berkas-berkasnya. Sementara terakhir kan sudah ada penetapan tersangka (Larasati) itu sudah dilimpahkan ke Kejaksaan," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (17/4) di kantor Ditipideksus Bareskrim Polri.

Sementara dalam surat pemberitahuan Ditipideksus Bareskrim Polri pada awal Februari lalu, diberitahukan bahwa terkait kasus pembelian obligasi FR0035 dari Reliance telah diperiksa sebanyak 17 saksi.
Sementara itu, salah satu nasabah yang juga pelapor yaitu Alwi Susanto mengatakan, dalam waktu dekat ia sendiri pihaknya diminta untuk menyediakan saksi ahli pasar modal guna menelusuri adanya rindak pidana pasar modal dalam kasus ini.

"Dalam waktu dekat kami akan ajukan saksi ahli pasar modal atas permintaan Bareskrim. Kuasa hukum kami sedang berkoordinasi dengan Prof Nindiyo Pramono dari UGM sebagai ahli pasar modal," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (18/4).

Asal tahu, dalam pengembangan penyidikan, diduga kasus tersebut menyangkut adanya tindak pidana pasar modal, serta tindak pidana pencucian uang, selain adanya tindak pidana penipuan
Sesuai dengan pasal 103 UU 8/1995 tentang pasar modal, dan pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan pasal 6 UU 8/2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh Wsther Larasati saat menjual kupon obligasi FR0035 dari Reliance.

Pujiati, kuasa hukum pelapor Pujiati menyatakan bahwa hal tersebut memang dibutuhkan guna mengurai aliran dana nasabah yang diterima oleh Larasati, yang ia yakini juga mengalir ke Reliance
"Keyakinan kuat kami, uang yang diterima Larasati mengalir juga ke Reliance," katanya saat dihubungi KONTAN, Rabu (18/4).

Oleh karenanya untuk menelusurinya aliran dana tersebut, Pujiati berharap agar penyidik dapat bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Sekadar informasi, pada 7 November 2017, Alwi bersama 12 nasabah Reliance lainnya melaporkan Larasati bersama Hosea Nicky Hogan (Presdir Reliance), dan Hendri Budiman (Direktur PT Magnus Capital) ke Bareskrim Polri atas adanya dugaan tindak pidana penipuan yang dilakukan Larasati saat menjual kupon obligasi FR0035 dari Reliance.

Kasus ini bermula dari tawaran Larasati untuk berinvestasi pada produk obligasi bodong FR0038. Larasati mengeluarkan kontrak atas nama Reliance serta Magnus Capital untuk menampung dana nasabah dalam kasus penipuan ini.


Larasati telah dihukum 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Desember 2016 lalu. Selain laporan pidana, para korban juga melakukan gugatan atas perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

EP Larasari divonis PN Jkt Barat 2.5 tahun

Sdri EP Larasati
4b. Sempat bebas, Larasati ditahan kembali
Sumber Kontan : Bareskrim tahan kembali Larasati

Sumber Kontan : Reliance masih berkilah. Larasati ditahan kembali

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Tindak Pidana Khusus, Bareskrim Polri melakukan penahanan kepada tersangka penipuan investasi yang juga bekas karyawan PT Reliance Sekuritas Tbk (RELI) Ester Pauli Larasati.
Hal tersebut dibenarkan oleh Wadir Tipideksus Bareskrim Polri, Kombes. Pol. Drs. Daniel Tahi Monang Silitonga saat dihubungi oleh Kontan.co.id pada Selasa (9/10).

“Ya sudah ditahan dari kemarin,” ujar Daniel melalui aplikasi pesan Whatsapp.
Dalam surat bernomor B/333/X/Res/2.5/2018/Sit Tipideksus tersebut Larasati ditahan dalam rangka pengembangan penyidikan dari laporan 13 nasabahnya.
“Kasus yang sama untuk laporan 13 orang di korban pasar modal,” kata Daniel.
Sebelumnya, Larasati yang dihukum penjara 2,5 tahun sejak 29 Juli 2016, sempat bebas pada 17 Agustus 2018 setelah menerima remisi umum selama 3 bulan.
Sementara itu Daniel juga mengatakan bahwa kasus dugaan tindak pidana penipuan ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. Sebelumnya pada 20 Agustus lalu, berkas pelimpahan tersebut dikembalikan oleh Kejaksaan untuk dilengkapi.
Untuk saat ini Daniel mengatakan bahwa berkas sudah dilengkapi dan dikembalikan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU)
“Ya, sudah dilimpahkan ke Kejaksaan,” ujar Daniel saat dikonfirmasi oleh Kontan.


Sumber Kontan : EP Larasati per 17 Ags 2018 sdh bebas
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terpidana penipuan investasi yang juga eks karyawan PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (Reliance), Esther Pauli Larasati akhirnya bebas dari penjara. Larasati bebas, setelah ketua hakim PN Jakarta Barat pada 19 Desember 2016 silam menjatuhkan hukuman penjara selama 2,5 tahun.
Namun bebasnya Larasati menimbulkan masalah baru. Pasalnya, yang bersangkutan tengah menghadapi perkara yang diajukan oleh 13 nasabah Reliance yang menjadi korban tipu muslihat wanita kelahiran 26 Februari 1965 tersebut.

Pujiati, kuasa hukum nasabah dari kantor advokat & konsultan hukum Tri & Rekan menyatakan sudah meminta keterangan ke Lapas Pondok Bambu terhadap status Larasati. "Saudari E.P Larasati sudah bebas per 17 Agustus lalu, setelah menjalani hukuman atas putusan pidana di PN Jakbar," terang Larasati kepada KONTAN, Selasa (25/9).
Pujiati menyesalkan bebasnya Larasati ini lantaran Bareskrim tengah memeriksanya. Pihak kuasa hukum menyatakan sudah pernah mengajukan permohonan ke Bareskrim agar pihak Bareskrim menahan Larasati. Hal ini menurut Pujiati guna memudahkan pemeriksaan perkara, sekaligus mencegah yang bersangkutan bebas.

"Entah bagaimana Bareskrim bisa kecolongan. Semoga Larasati bisa ditahan kembali agar segera ada kepastian hukum," ucap Pujiati.
KONTAN pun mendapatkan sebuah surat pemberitahuan rencana pembebasan Larasati dari LP Perempuan Pondok Bambu yang ditujukan kepada Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Surat tertanggal 16 Agustus atau sehari sebelum Larasari dibebaskan tersebut ditandatangani oleh Kepala Lapas Pondok Bambu, Ika Yusanti.
Surat tersebut merupakan jawaban atas permohonan Bareskrim pada 27 Juli 2018 untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap Larasati. Dalam surat tersebut, Ika menjelaskan bahwa Larasati akan bebas murni karena mendapatkan remisi umum 17 Agustus 2018 selama 3 bulan (lihat info grafik).

Saat dikonfirmasi KONTAN, Wakil Direktur Tipideksus Bareskrim Daniel Tahi Monang Silitonga menyatakan akan mengecek laporan tersebut.
Sekadar mengingatkan, selain mengajukan tuntutan pidana, para korban juga sudah mengajukan gugatan perdata dan dikabulkan pengadilan ditingkat pertama. Nilai gugatan tersebut sebesar Rp 31 miliar ditambah bunga 6% per tahun yang dihitung sejak imvestasi jatuh tempo sampai tergugat mengembalikan seluruh investasi berikut bunganya.

"Hanya saja dalam putusan tersebut yang dihukum untuk mengembalikan hanya PT Magnus Capital, E.P larasati dan Hendri Budiman," ujar Pujiati. Atas sebab itu, para korban beserta PT.Magnus Capital dan Hendri Budiman mengajukan banding.
Menurut Pujiati, Reliance dan Nicky Hogan selaku tergugat dalam kasus perdata seharusnya tetap dapat dimintai pertanggungjawaban dengan mengacu pada pasal 1366 KUHPerdata.

Pemberitahuan Pelepasan Narapidana EP Larasati


5. Kasus Larasati, Nicky Hogan didenda Rp 100 juta

JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan denda dan sanksi pada pihak-pihak yang terlibat baik langsung dan tidak langsung dengan kasus penipuan yang dilakukan Esther Pauli Larasati. 
Salah satunya, Hosea Nicky Hogan yang kini menjabat Direktur Pengembangan di PT Bursa Efek Indonesia. OJK mengenakan denda Rp 100 juta, tekait jabatan terdahulu di Reliance ketika kasus ini berlangsung. 
OJK mencatat, Nicky Hogan menjadi Wakil Presiden Direktur Reliance pada tahun 2009 dan memimpin sebagai Presdir pada 2010-2015.

OJK tidak mencabut izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efeknya karena izin yang dimiliki Nicky saat ini sudah tidak berlaku.

Alasan OJK, pertama, Nicky Hogan selaku Wakil Perantara Pedagang Efek telah menyetujui dilakukannya transaksi set off terhadap rekening efek nasabah, tanpa instruksi dari nasabah yang bersangkutan. Rekening itu milik Mustofa yang dimutasi ke rekening atas nama Achmad Prijoutomo senilai Rp 400 juta pada 16 April 2013.

Kedua, Nicky juga dinilai tidak melakukan pengawasan terhadap Larasati yang melakukan fungsi pemasaran tapi tidak memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek dari OJK. 
"Bahkan Nicky Hogan turut menandatangani Formulir Pembukaan Rekening Efek dari nasabah yang ditangani oleh EP Larasati," tulis rilis hasil pemeriksaan OJK, Senin (29/5).

Ketiga, Nicky juga dinyatakan bersalah karena telah memberikan akses atas sistem remote trading pada Larasati yang dianggap tidak berwenang, yang tetap digunakan Larasati selama setahun setelah tak berkerja lagi sebagai karyawan Reliance. 
EP Larasati disebut OJK telah melakukan pelanggaran UU Pasar Modal dengan melakukan penipuan investasi. Larasati bisa melakukan aksinya karena masih berkantor di Reliance dan bisa melakukan remote trading meski tak lagi menjadi karyawan Reliance di tahun 2014. 

Dengan akomodasi ini, Larasati melakukan pembukaan kontrak pada nasabah yang bukan nasabah Reliance, mengatasnamakan Reliance dan Magnus Capital. Uang nasabah dialirkan ke rekening Magnus Capital lalu ke kantong pribadi EP Larasati. 
OJK sudah menjatuhkan denda pada Reliance senilai Rp 500 juta dan diminta menyetorkan fee atas transaksi yang dilakukan Larasati senilai Rp 5 miliar. 


Nicky Hogan Presdir Reliance TBK 2010 - 2015

6. Istri Mantan wapres pun ditipu Reliance Securities TBK

 Sumber Tribun :Istri mantan wapres pun ditipu Reliance Securities TBK

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Kasus penipuan investasi yang dilakukan Esther Pauli Larasati, mantan karyawan PT Reliance Securities Tbk, memasuki babak baru. Pada Senin (6/11/2017), nasabah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Nasabah telah mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Selatan dengan nomor 764/Pdt/2017/PN JKT Sel.
Berdasarkan salinan berkas gugatan yang diperoleh Kontan, para penggugat meliputi 13 pihak. Satu dari 13 penggugat itu adalah Karlina Umar Wirahadikusumah, yang tak lain adalah istri almarhum Umar Wirahadikusumah, mantan wakil presiden di era Soeharto.

Sedangkan para tergugat terdiri dari lima pihak, yakni Larasati sebagai tergugat pertama, Reliance Sekuritas (tergugat kedua), Magnus Capital (tergugat ketiga), Hosea Nicky Hogan (tergugat empat), dan Hendri Budiman (tergugat lima).
Hendri adalah Direktur Magnus Capital. Adapun Nicky Hogan adalah mantan Direktur Utama Reliance Securities yang kini menjabat sebagai Direktur Bursa Efek Indonesia.

Selain tergugat, ada pula pihak yang menjadi turut tergugat, yakni Otoritas Jasa Keuangan (turut tergugat satu), Bank Mandiri Cabang BEI (turut tergugat dua) dan Bank Central Asia Cabang BEI (turut tergugat tiga).
Ihwal Karlina terjebak dalam tawaran investasi Larasati berawal ketika menempatkan dananya pada tergugat dua (Reliance) dengan jaminan obligasi FR0035 senilai Rp 5 miliar. Investasi dengan suku bunga 12,5% itu bertenor 12 bulan yakni periode 5 Maret 2015 hingga 5 Maret 2016.

Dengan skema itu, Karlina hanya diminta untuk menyetor Rp 4,37 miliar sebagaimana trade confirmation tertanggal 9 Maret 2015 yang ditandatangani oleh Direktur Utama Reliance Sekuritas Nicky Hogan dan Divisi Wealth Management Reliance Larasati.
Namun pada tanggal jatuh tempo dana yang diinvestasikan tidak dapat ditarik hingga saat ini. 

Pidana Lanjut

Otoritas Jasa Keuangan telah menjatuhkan sanksi administratif kepada Reliance Sekuritas (sebelumnya Reliance Securities) dan Magnus Capital. Sanksi yang dijatuhkan OJK itu berkaitan dengan kasus investasi yang melibatkan bekas karyawan Reliance, Esther Pauli Larasati.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, regulator jasa keuangan ini menemukan pelanggaran pasar modal yang dilakukan oleh Larasati, Reliance Sekuritas, Magnus Capital, dan pihak terkait lainnya. Terhadap Magnus, misalnya, OJK mencabut izin usaha sebagai perantara pedagang efek dan penjamin emisi efek. Sebab, Magnus terbukti jadi penampung dana dengan meminjamkan rekening bank kepada Larasati.

Pencatatan transaksi dana masuk dari rekening itu juga tidak sesuai ketentuan. Jadi, Magnus tidak memenuhi nilai minimum MKBD yang disyaratkan. "Terhadap Reliance Sekuritas, OJK mengenakan sanksi administratif berupa denda Rp 500 juta," sebut Direktorat Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal OJK, dalam keterangan resmi mereka yang dipublikasikan Jumat (26/5) pekan lalu.

Reliance Sekuritas juga wajib menyetorkan fee transaksi senilai Rp 5 miliar yang diperoleh dari transaksi nasabah pemilik rekening di Reliance yang ditangani Larasati.
Reliance Sekuritas dianggap tak melaksanakan fungsi manajemen risiko dengan benar. Soalnya, mereka tidak melakukan parameter batasan transaksi untuk kepentingan nasabah. Perusahaan efek ini juga dianggap lalai dalam mengawasi Larasati.

Larasati diketahui tak memiliki izin perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek. Namun hingga 2015, Larasati menjalankan fungsi pemasaran di Reliance.
Alwi Susanto, salah satu korban aksi penipuan Larasati, belum puas terhadap sanksi yang dijatuhkan oleh OJK. Pasalnya, OJK belum mengusut tuntas aliran uang korban yang diterima Larasati dari Magnus Capital.

Menurut Alwi, Larasati menjual produk SUN FR0035 kepada nasabah dengan fasilitas Reliance Sekuritas atas persetujuan Nicky Hogan. Ini juga sesuai pernyataan Larasati di depan Majelis Hakim pada sidang di PN Jakarta Barat. Para korban masih berharap, dana ratusan miliar yang terjebak di investasi abal-abal ini bisa kembali.
"Kami akan minta penjelasan ke OJK, apakah masih ada penyidikan lanjutan. Sebab, kami belum puas jika penyidikan OJK berhenti di sanksi administrasi kepada kedua sekuritas tersebut," ungkap Alwi yang mengaku sudah empat kali dimintai keterangan OJK.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis IC OJK Hendrikus Ivo menegaskan, penyidikan atas tindakan pidana pasar modal terkait kasus Larasati tetap berjalan. "Kami jalan terus. Pidana berbeda dengan administratif," ungkap dia kemarin.



Nasib Nicky Hogan di BEI

Salah satu petinggi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Hosea Nicky Hogan, ikut masuk dalam pusaran kasus Esther Pauli Larasati, bekas karyawan Reliance Sekuritas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi denda Rp 100 juta kepada Nicky pada 26 Mei 2017. OJK menemukan kesalahan yang dilakukan Nicky selaku Presiden Direktur Reliance periode 20102015, saat kasus Larasati berlangsung. Nicky kini menjabat Direktur Pengembangan BEI. OJK menjatuhkan sanksi denda itu karena Nicky memberikan akses atas sistem remote trading kepada pihak yang tidak berwenang, yakni Larasati. 

Sayang, Nicky enggan mengomentari sanksi yang dijatuhkan OJK kepada dirinya.
Tentu, sanksi itu bisa memengaruhi karier Nicky di BEI. Anggota Dewan Komisioner OJK Nurhaida menjelaskan, track record menjadi salah satu dasar penilaian. "Kami kira sudah ada ketentuan dan persyaratan yang jelas," tegasnya. 
Direktur Utama BEI Tito Sulistio menyatakan, pihaknya akan mengikuti semua instruksi dari OJK. Bahkan, menerapkan perintah suspensi terhadap sekuritas yang bersalah.

Ibu Hj Karlinah Umar Wirahadikusumah

7. Kasus2 perdata/pidana Reliance lainnya

7.1. Kasus Askrindo (Ijin Reliance dicabut, direktur divonis 4 tahun penjara oleh Tipikor)

Sumber Detik : Izin Reliance dicabut karena kasus Askrindo

Jakarta - Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mencabut izin usaha Perusahaan efek sebagai Manager Investasi (MI) pada PT Reliance Asset Management dan PT Jakarta Investment. Menurut Ketua Bapepam-LK, Nuraida, keduanya terbukti melanggar peraturan Undang-Undang (UU) pasar modal, terkait kontrak kerja pengelolaan dana PT Askrindo.


"Reliance melakukan beberapa pelanggaran, baik dalam pengelolaan investasi untuk kepentingan nasabahnya, maupun dalam pelaksanaan tata kelola MI," ungkapnya.

Pelanggaran yang dilakukan Reliance adalah, tidak dapat menunjukkan dokumen kontra dan kertas kerja pengelolaan dana PT Aksrindo, tidak memiliki metode dan batasan investasi dalam pengelolaan dana PT Askrindo, dan tidak menyampaikan alasan rasional dana membuat keputusan invesasi, khususnya transaksi REPO serta penggunaan dana hasil REPO antara Reliance dan Askrindo.

"Bahwa pelanggaran yang berkaitan dengan tata kelola MI adalah, tidak memilik direksi, tidak memiliki strategi manajemen risiko, dan tidak memiliki pegawai yang melaksanankan fungsi-fungsi kepatuhan, incestasi dan manajemen risiko," tutur Nurhaida.

Dengan pelanggaran tersebut, Bapepam-LK menetapkan sanksi berupa pencabutan izin usaha MI atas nama PT Reliance Asset Management, kemudian pencabutan izin orang perseorangan sebagai Wakil manajer Investasi (WMI) atas dana Josep Ginting, yang juga merupakan Dirut RAM. Kemudian pencabutan izin WMI atas nama Ervan Fajar Mandala.

Untuk PT Jakarta Investment, Nilai Aktiva Bersih produk reksa dana perseroan (Jakarta Flexi Plus), hingga 2011 tidak mencapai batas minimum yang ditetapkan Bapepam-LK, Rp 25 miliar. Jakarta Investment juga tidak melaporkan keseluruhan pengelolaan dana nasabah pada laporan keiangan bulanan MI.

"Jakarta Investment tidak memiliki atau menyimpan arsip yang berkaitan dengan pengelolaan investasi, bagi setiap portofolio yang dikelolanya, dan tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kebijakan atas rekening nasabah, sehingga wajib mencatat alasan bahwa keputusan yang diambil dianggap tepat," ucapnya.

Dari hasil penyidikan Bapepam-LK, Jakarta Investment tidak memiliki perjanjian KPD dengan Askrindo, terkait pengambilalihan perjanjian KPD antara PT Jakarta Asset Management dan PT Askrindo, dimana dana Askrindo ditempatkan pada PN PT Tranka dan PT MMI.

"Jakarta (terbukti) mentransfer dana kepada PT Tranka Rp 15 miliar tanpa adanya kontrak, atau penerbitan surat berharga, berkaitan dengan transfer dimaksud," tegasnya.

Tanpa melalui kontrak, Jakarta Investment melakukan pembayaran bunga atas perjanjian KPD dan REPO dari PT HAM, PT RAM, dan PT JAM, serta menuntut prestasi dari pembayaran bunga tersebut.

"Pada pengelolaan dana, khususnya PT Nasre dan PT Askrindo, PT Jakarta Investment menempatkan dana nasabah dimaksud pada PN PT Indowan dan pada PN perusahaan-perusahaan yang merupakan nasabah penjaminan PT Askrindo, hanya berdasarkan arahan nasabah," imbuhnya,

Dengan demikian, izin MI Jakarta Investment telah icabut, dan juga pencabutan izin WMI dari Markus Suryawan (Dirut JI), dan Benny Andreas (pemegang saham JI).


Sumber Kontan : Direktur Reliance divonis 4 thn penjara


JAKARTA. Terdakwa kasus korupsi dana investasi PT Askrindo, Fajar Ervan Mandala, yang juga merupakan bekas Direktur PT Reliance Asset Management (RAM), dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Selain itu, Ia juga diharuskan membayar denda sebsar Rp 250 juta, subsidair tiga bulan kurungan dan mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dinikmatinya sebesar Rp 796 juta.  Kalau tidak mengembalikan ganti rugi, Jaksa akan menyita harta kekayaannya.

Adapun putusan tersebut rupanya lebih enteng dibanding tuntutan Jaksa yang meminta hakim menjatuhkan putusan sembilan tahun penjara, dan membayar denda sebesar Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan.

“Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan,” kata ketua Majelis hakim Marsuddin Nainggolan, Senin (22/10). Hakim menilai Ervan telah terbukti bersalah melakukan perbuatan, yang didakwakan.

Dalam dakwaan, Ervan dinilai melanggar pasal 2 ayat (1) Juncto pasal 18 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan pasal 6 ayat (1) UU nomor 15 tahun2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Dari fakta persidangan diketahui, kalau Reliance Aset Management telah menerima dana Askrindo sebesar Rp 96 miliar, dalam bentuk Repurchasing Agreement (Repo) saham, Kontrak Pengelolaan Dana (KPD), dan reksadana.

Penempatan dana-dana itu dilakukan melalui mekanisme yang tidak seharusnya. Akibatnya, dana investasi tersebut tidak dapat dikembalikan kepada Askrindo. Sementara yang kembali kepada Askrindo hanya sebesar Rp 391 juta berupa pembayaran bunga atas penempatan dana. Ervan juga terbukti telah turut menikmati hasil sebesar Rp 796 juta.

 Fajar dalam melakukan kejahatannya tidak sendirian. Karena penempatan dana di Reliance Aset management itu dilakukan atas kesepakatan yang telah dilakukan dengan bekas direktur keuangan Askrindo Zulfan Lubis, dan sejumlah direktur perusahaan Manajer Investasi lainnya.

Adapun dalam kasus ini, Askrindo tidak hanya menempatkan dana investasinya di reliance Asset Management. Askrindo juga menempatkan dananya di PT Harvestindo Aset Management (HAM) sebesar Rp 80 miliar, PT Jakarta Investindo sebesar Rp 182 miliar, dan PT Jakarta Securities sebesar Rp 83 miliar.
Atas putusan tersebut, Ervan mengaku masih pikir-pikir. “Saya masih pikir-pikir dulu yang mulia,” kata Ervan.


7.2. Reliance disuspensi BEI karena kasus gagal bayar saham SIAP


Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas pasar modal, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan aktivitas perdagangan tiga anggota bursa atau sekuritas karena terbukti melakukan pelanggaran terkait gagal bayar transaksi saham PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP). 

Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan terpaksa mensuspensi aktivitas PT Danareksa Sekuritas, PT Reliance Securities Tbk, dan PT Millenium Danatama Sekuritas karena melakukan pelanggaran.

“Jam 2 pagi saya tandatangani keputusan suspensi. Hari ini adalah hari yang paling sedih karena hari ini saya harus ‘menghukum’ anak saya yang paling tua dan paling pintar, yaitu Danareksa. Juga dengan terpaksa saya harus lakukan untuk dua broker lain yang lebih muda,” ujar Tito di gedung BEI, Jakarta, Rabu (11/11).

Tito menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat BEI memutuskan melakukan suspensi kepada tiga sekuritas tersebut. Salah satunya karena adanya struktur yang tidak benar dan proper. Hal itu, lanjutnya bisa membuat adanya ‘lubang’ dalam transaksi dan mempengaruhi yang lain.

“Atau mungkin juga perbuatan dan kebijakan salah satu direksinya yang bisa merusak pasar modal. Artinya ada pelanggaran dan perbuatan yang membuat dia disuspen,” jelas Tito.

BEI akan melaporkan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penelaahan lanjutan. Tito mengaku sebelumnya sudah memanggil pihak-pihak yang terkait dalam kasus transaksi saham SIAP ini.

“Kami sudah panggil orang-orangnya dan wawancara bukan 1-2 jam tapi sampai 6-7 jam kami ngobrol dan mereka sudah tandatangani pengakuannya. Semoga ini bisa diselesaikan. Bursa harus punya wibawa, kalau ada sesuatu yang harus diperbaiki ya bursa perbaiki,” jelasnya.

Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Anggota BEI Hamdi Hassyarbaini mengatakan BEI akan menghentikan aktivitas ketiga sekuritas sampai memenuhi alasan penyetopan tersebut.

“Mereka tidak melakukan proses KYC (Know Your Costumer), internal control dan risk management yang baik. Tim saya masih melakukan pemeriksaan,” ujarnya.

Hamdi menyatakan, BEI memutuskan untuk mensuspensi tiga dari delapan sekuritas yang diperiksa karena ketiganya dinilai lebih atau dominan dalam bertransaksi. Hal itu seiring dengana adanya pelanggaran yang dilakukan.

“Dari delapan jadi tiga. Karena kami melihat mereka dominan dalam peran transaksi. Indikatornya dari pelanggaran yang paling banyak dilakukan,” jelasnya

BEI menurutnya juga telah memantau para sekuritas terduga dalam kasus gagal bayar transaksi saham SIAP di pasar negosiasi tersebut sejak perdagangan pada akhir Oktober lalu.
“Sudah kami pantau dari perdagangan sekitar 20 Oktober 2015 sampai yang terakhir kemarin, akhirnya kami suspensi,” ujar Hamdi.

Dirut BEI Tito Sulistio

7.3. Sengketa Reliance vs Maybank


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - BANI  Sovereign Melanggar UU Arbitrase dalam sengketa antara Reliance Capital dengan Maybank hal itu disampaikan oleh Andi Merrie Muhammadyah Koordinator Pemantau Lembaga Arbitrase Indonesia.

Menurutnya, dalam manajemen PT Reliance Capital Manejemen yaitu Presiden Direktur PT Reliance Capital Management Anton Budidjaja memiliki hubungan keluarga dengan salah satu arbiter di BANI Sovereign yaitu Tony Budidjaja yang merupakan saudara kandung Anton Budidjaja 

"Patut dicurigai Reliance Capital Mangement memaksakan penyelesaian sengketa PT Reliance Capital Management (PT RCM) mengakuisisi PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk. (WOM Finance) dari Bank berkode saham BNII ini pada 11 Januari 2017," ujarnya kepada wartawan belum lama ini. 

Dijelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian itu menyepakati pembelian 68,55% saham Maybank di WOM Finance dengan nilai total pengalihan saham Rp673,7 miliar atau setara dengan Rp282,35 per saham. Dan perjanjian tersebut tertuang dalam Pembelian Saham Bersyarat (Conditional Shares Purchase Agreement/CSPA).
"Tak lama berselang, Maybank membatalkan penjualan WOM Finance kepada Reliance pada 30 April 2017. 

Maybank menyebutkan adanya sejumlah persyaratan yang tidak dipenuhi oleh Reliance. Dengan demikian, Maybank menyebut masih menjadi pemilik sah 68,55% saham WOM Finance," tegasnya.
Apalagi katanya, BANI Sovereign merupakan BANI yang belum punya kekuatan hukum tetap sebagai Lembaga Arbitrase  di Indonesia. Karena masih  ada upaya hukum yang diajukan oleh BANI Mampang di tingkat kasasi, untuk membatalkan pengesahan BANI Sovereign oleh Menkumham 

Dalam UU jelas, dimana setiap Lembaga Arbitrase di Indonesia tunduk pada UU no 30 tahun 1999 tentang arbitrasi Dimana dalam UU no 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dimana syarat   Pengangkatan  Arbiter pada Pasal  12 (1)  Yang dapat  ditunjuk atau diangkat  sebagai  arbiter harus memenuhi  syarat seperti  pada hurup C . tidak  mempunyai  hubungan  keluarga  sedarah  atau semenda  sampai  dengan derajat kedua  dengan  salah satu  pihak  bersengketa; 

Serta pada hurup D pasal 12  tidak  mempunyai  kepentingan finansial atau  kepentingan lain atas  putusan arbitrase 
Sehingga keputusan BANI Sovereign terkait sengketa antara May bank dan Reliance Capital Management sudah menyalahi perundangan undangan terkait arbitrasi

"Karena itu langkah hukum yang dilakukan oleh Maybank dengan mengugat BANI Sovereign Dan PT RCM sudah tepat Dan sebaiknya putusan BANI Sovereign terkait sengketa CPSA saham maybank di WoM Finance yang Merugikan Maybank abaikan saja," tandasnya.

Tony Budidjaja
Catatan :

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) versi Mampang memenangkan gugatan badan hukum terhadap BANI versi Sovereign di tingkat kasasi Mahkamah Agung melalui putusan 232 K/TUN/2018 pada 8 Mei 2018.

Melalui putusan yang diputus oleh Ketua Hakim Kasasi Yodi Martono Wahyunadi ini, maka SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. AHU-00664837.AH.01.01. pada 20 Juni 2016 tentang legalitas BANI Sovereign dinyatakan batal demi hukum.



Konferensi pers Bani Mampang

7.4. Pengusaha ayam di Blitar ditipu Reliance TBK 13M


JAKARTA,BERITA-ONE.COM-Seorang pengusaha ayam petelur dari Blitar Jawa Timur,  mengkisahkan tetang dirinya yang telah ditipu pihak PT. Reliance Securities  (PT.RS) yang beralamat  di bilangan Pluit Jakarta  Utara. Sutrisno nama pengusaha tersebut,   berinvestasi dengan maksud untuk mendapatkan untung,  ternyata malah buntung. Uangnya Rp 13 milyar lebih amblas dan sebaliknya,   malah punya  hutang yang cukup besar. Berikut Affidavit Sutrisno;

Sekitar akhir Oktober 2010,    mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku bernama Hari Wijaya,  marketing Office PT. RS Tbk cabang Solo Jawa Tengah,  yang menawarkan untuk membuka rekening Efek. Dan pada sekitar pertengahan November 2010 Hari Wijaya, Dyah Irma( Kacap PT RS Solo) dan suaminya mendatangi rumah Sutrisno  di Blitar untuk mempresentasikan prospek berinvestasi di PT. RS Tbk.

Dalam pertemuan tersebut dikatakan bahwa berinvestasi di PT. RS prospeknya sangat bagus karena tim analis pasarnya bagus dan berpengalaman semua. Dengan rayuan gombal tersebut,  Sutrisno tertarik untuk bergabung. Pada saat itu mereka menyodorkan Formulir pembukaan  Rekening Efek Blangko/kosong yang oleh Sutrisno langsung  ditandatanganinya.

Sejak saat itu Sutrisno mulai melakukan transaksi pembelian saham atas rekomendasi Hari dan Dyah. Dalam perjalananya sekitar 1,5 tahun, posisi partofolio Sutrisno  kurang  bagus, keuntungan  yang diharapkan, kerugian yang didapat. Sekitar April 2012,  Sutrisno berkeinginan   untuk menutup rekeningnya di PT. RS dan menarik uangnya untuk dijadikan usaha riil sebagai peternak  Ayam Petelur.

Namun oleh Kacap PT.RS Solo, Dyah, niatnya ini  dihalang-halangi,  dengan alasan partofolio masih  posisi rugi. Lalu Dyah berjanji akan memperbaiki kerugian partofolio Sutrisno dengan cara  memanggil orang dari PT. RS Pusat  yang sudah berpengalaman dan terbiasa   mengerjakan partofolio yang merugi dan bahkan bisa memberikan keuntungan yang bagus. Dalam hal ini Dyah mengaku   bertanggung jawab penuh dan akan mengganti sendainya Sutrisno mengalami kerugian, plus  menjamin orang dari Pusat tersebut benar- benar berpengalaman.

Sekitar awal Mei 2012, Hari datangi sang pengusaha ini , dengan sesorang bernama Sahala Parulian dari PT.RS Jakarta, yang mengaku sebagai orang yang sudah perpengalaman di pasar saham, terbiasa menangani partofolio yang rugi menjadi untung, seperti yang pernah dikatakan Dyah.  Saat itu Sutrisno diperlihatkan surat kesepakatan kerjasama dan surat kuasa.

Mulai saat itu transaksi-tansaksi saham  dan jual beli  saham dikelola Sahala Parian dari PT. RS cabang Solo di bawah pengawasan Dyah,   dan Sutrisno tidak mengikuti kegiatan itu karena kesibukannya sendiri. Dalam perjalananya, Dyah dan Sahala Parulian menganjurkan kepada Sutrisno,   untuk menggunakan dana margin. Karena desakan mereka dan dengan alasan untuk memperkuat partofolionya , dan ini sifatnya sementara, akhirnya diikuti oleh Sutrisno.

Saham milik Sutrisno yang berada di rekening Sadeli,   Solo, atas  bujukan Dyah dan Sahala Parulian akhirnya dipindahkan ke PT. RS cabang Solo dan Scuritas lain,  dengan alasan agar dana lebih  kuat dan mempercepat keuntungan. Mengenai Scuritas lain  pembukaan  rekening   diurus oleh Dyah dan Sahala Parulian.

Dan pemindahan saham dari tempat Sadeli ke scuritas XA ( Worri Korindo Securities, LS ( PT. RS ), IP ( Indosurya Scuritas) Solo, DR ( OSK Nusa Dana Scuritas) cabang Malang  dan CP ( Volburi Scuritas) cabang Solo,  akhirnya terjadi.

Seiring dengan berjalannya waktu, Dyah dan Sahala menjalankan transaksi ke-5 Scuritas tersebut, mengatakan,  di semua  Scuritas  ada fasilitas dana Margin. Sutrisno menolak hal tersebut, namun diluar sepengetahuan/seijinnya, mereka, Dyah  dan Sahala menggunakan dana margin tersebut.

Transaksi saham memang terus berjalan, tapi bukannya membuat keuntungan bagi  Sutrisno, namun malah membuat kerugian yang luar biasa yang  tidak pernah diharapkan.

Seperti yang telah katakan, Sutrisno  tidak pernah menyetujui penggunaan dana margin tersebut. Tapi mereka tetap menggunakan dana tersebut untuk bertransaksi tampa sepengetahuannya. Akhirnya menimbulkan hutang dari transaksi saham yang sangat besar.

Karena keadaan yang sudah demikian runyam, lalu Sutrisno minta pertanggung jawaban kepada mereka,  yang kemudian mereka mendatangi lagi Sutrisno di  Blitar dan mengatakan, transaksi ini membutuhkan Konsorsium agar kerugian dapat segera diatasi dan target keuntungan dapat dicapai. Masalah Konsorsium dikatakan sudah ada, orangnya sangat  berpengalaman dalam pasar saham , namanya Djong Effendi , dari Jakarta.

Sutrisno juga mengaku pernah berjupa dengan mereka saat Konsorsium mulai berjalan. Mereka itu adalah Dyah, Sahala, Hari dan  Djong Effendi. Perbincangan kami cukup lama dimana Djong Effendi menceritakan  pengalamannya dibidang pasar saham.

Pada saat Konsorsium (Versi Reliance). mulai berjalan lagi lagi  mereka menemui Sutrisno untuk menambah dana tunai agar cepat selesai, dan dana tunai ini dikatakan  sementara, sifatnya dana talangan dan akan dikembalikan. Singkat cerita, Sutrisno mengikuti tawaran tersebut. Tapi dalam perjalanan selanjutnya kerugian yang dialaminya semakin besar dan dalam. Dana yang  disetorkan tidak bisa diambil kembali. Posisi terakhir, Sutrisno  punya hutang ke PT. RS Tbk  dan Scuritas lain, tanpa tahu yang sebenarnya terjadi.

Maka,  melalui Hartono Tanuwidjaja SH.MSi.MH, yang bersangkutan menggugat PT. RS Tbk ke Pengadilan Jakarta Utara dengan  NO. 253/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Ut. Dalam materi pokok gugatannya digambarkan; Sutrisno sebagai nasabah
PT. RS Tbk pada tanggal 13 Desember 2010 mempunyai stok saham Rp 5,4 milyar lebih ditambah pengalihan saham sebesar Rp 8,1 milyar lebih.

Transaksi tanggal 14 Mei 2012 s/d 16 Mei 16 Mei 2012 (diluar surat kuasa)menyebutkan Pembelian Rp 5,8 lebih dan Penjualan Rp 2,9 milyar lebih. Sedangkan transaksi pada 18 Mei 2012 s/d 17 Mei 2012, (diluar ijin HWI) Pembelian Rp 45,9 milyar lebih dan Jual Rp 39,9 milyar lebih. Sedangkan  transaksi pada tanggal 18 Juli 2012 s/d 03 Januari 2017 (dengan izin WPPE x WMI) Pembelian Rp 136,3 milyar lebih dan Penjualan Rp 131,9 milyar lebih.

Proses persidangan kasus ini sampai sekarang baru mencapai tahap mediasi. (SUR).

Sutrisno di Blitar




In a police report filed last month in Jakarta and in letters to Indonesia's financial-market regulators, International Finance Corp. alleges that PT Panca Overseas Finance , a local consumer-finance company, created fake creditors in an effort to block an IFC petition to have Panca declared bankrupt.
By introducing the phony creditors, the IFC alleges, Panca has enough votes to defeat the bankruptcy petition and to win approval for its own debt-restructuring plan, which would require Panca to pay just 17 cents on each dollar of its debt. A creditors' vote on whether to support the Panca plan is set for Wednesday in Jakarta.
Panca's debt stood at $68 million in mid-2000, but that total jumped to about $230 million after Panca reported that it had received a $160 million syndicated loan from a Hong Kong-registered company called Harvest Hero International Ltd. late last year. That loan was arranged, apparently without any security, while Panca was in the midst of protracted negotiations with its other creditors, including the IFC.
On Monday, Jakarta's Commercial Court postponed a vote by creditors on Panca's restructuring plan, citing technical reasons. Panca, formerly known as Panin Overseas Finance, is 72%-owned by companies in the Panin Group, a midsize Indonesian financial-services group. IFC owns 6% of the company, and public investors own the rest.
Panca insists that the loan from Harvest Hero is legitimate and argues that its restructuring plan is fair. "We believe the plan is very realistic," Anton Budidjaja, Panca's president-director, said in an interview. The IFC, he said, "should honor the decision" of a Commercial Court judge who last week permitted Harvest Hero and 13 other new creditors in its syndicate -- all registered in Western Samoa or the Bahamas -- to vote on the plan.
The IFC says it will walk out if Panca's restructuring plan comes up for a vote Wednesday in which Harvest Hero and its syndicate members participate. The IFC would appeal the case to Indonesia's Supreme Court, says Luhut Pangaribuan, a lawyer for the World Bank affiliate.
Harvest Hero hasn't commented on any of the allegations against it.
Write to Timothy Mapes at tim.mapes@awsj.com



Semua berawal dari percaya nama besar Reliance Securities TBK.. Calon investor Indonesia jangan salah kaprah.  Dana dipercayakan kepada ...